Penyelenggaraan seleksi nasional masuk perguruan tinggi ( SNMPTN ) 2011 telah berakhir. jumlah peserta yang lolos SNMPTN mencapai 118.233 orang dari 540.953 orang yang mendaftar. jumlah total mahasiswa yang diterima melalui SNMPTN akan mengisi 60% dari total daya tampung 60 PTN yang ada diseluruh Indonesia. Adapun 40% akan diterima melalui seleksi mandiri oleh masing – masing PTN. seleksi jalur mandiri di PTN itu mungkin lebih tepat disebut sebagai seleksi masuk jalur berbasis uang mengingat besarnya uang yang harus dibayarkan.

Daya tampung PTN seluruh indonesia saat ini sekitar 200 ribuan mahasiswa baru. jumlah itu ternyata belum sebanding dengan jumlah lulusan SMA. lulusan SMA ada sekitar 1.5 juta orang, itu artinya ada 1.2 juta lulusan SMA yang tidak bisa ditampung oleh PTN. dari jumlah itu hanya sekitar 30% yang mampu masuk perguruan tinggi swasta. Terbatasnya daya tampung perguruan tinggi itu sebenarnya bukanlah seleksi pertama bagi lulusan SMA untuk bisa meneruskan pendidikan di perguruan tinggi. Seleksi petama – tama adalah mahalnya biaya.

jenjang pendidikan tinggi yang seharusnya bisa dinikmati oleh semua kalangan. ternyata hanyalah khayalan belaka. Mahalnya biaya membuat mereka yang kurang mampu mengurungkan cita – cita mengecap pendidikan tinggi. Wajar jika sekitar 60% lulusan SMA mengaku tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi dan lebih memilih untuk mencari kerja, bukannya mereka tidak ingin, melainkan terpaksa karena mahalnya biaya.

Mahalnya biaya sekolah di Perguruan tinggi dilihat dari besarnya biaya masuk dan SPP tiap semesternya. SPP atau biaya operasional yang harus dibayar oleh mahasiswa di PTN banyak yang mencapai 5 juta persemester, bahkan tidak sedikit yang jauh lebih besar dari angka itu. sementara untuk uang masuk rata-rata mencapai puluhan juta bahkan ada yang lebih dari 100 juta.

 

AKAR MASALAH

penyedia pendidikan berkualitas memang membutuhkan biaya besar, karena kucuran dana dari pemerintah yang sangat minim, untuk bertahan hidup dan mengembangkan diri, pengelola perguruan tinggi terpaksa menerapkan mekanisme pasar. memang anggaran untuk fungsi pendidikan sudah mencapai 20% dari APBN yaitu sebesar 248 triliun, dari jumlah itu 158 triliun yang ditransfer ke daerah. Hanya 89 triliun yand dikelola pemerintah pusat yang disebar untuk 18 kementrian, yang dikelola kemendiknas sendiri hanya 55 triliun yang di bagi untuk program pendidikan dasar 12.7 triliun, pendidikan menengah 5 triliun, pendidikan tinggi 28.8 triliun, dan semua jumlah itu sebagian besarnya untuk gaji guru dan dosen.

inilah pangkal masalah mahalnya biaya pendidikan itu, yaitu negara ini menggunakan paradigma kapitalisme dalam mengurusi kepentingan dan urusan rakyat termasuk pendidikan. Ideologi Kapitalisme memandang bahwa pengurusan rakyat oleh pemerintah berbasis pada sistem pasar, artinya pemerintah hanya menjamin berjalannya sistem pasar itu, bukan menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Dalam pendidikan, pemerintah hanya menjamin ketersediaan sekolah/perguruan tinggi bagi masyarakat, tidak peduli apakah biaya pendidikanya terjangkau atau tidak oleh masyarakat. pemerintah akan memberikan izin kepada siapa pun untuk mendirikan sekolah/perguruan tinggi termasuk para investor asing, anggota masyarakat yang mampu dapat memilih sekolah yang berkualitas dengan biaya mahal. yang kurang mampu hanya bisa memilih sekolah yang lebih murah dengan kualitas yang lebih rendah. yang tidak mampu dipersilahkan untuk tidak bersekolah.

AKIBAT MAHALNYA BIAYA PENDIDIKAN

Mahalnya pendidikan itu menyebabkan terjadinya “lingkaran setan” kemiskinan. karena mahalnya maka banya dari generasi anak kita yang tidak bisa mengembangkan potensi dirinya, sehingga mereka tetap dalam kondisi miskin dan bodoh. selain itu masyarakat makin terkotak – kotak berdasarkan status sosial ekonomi. pada tahun 2010 hanya 6% saja mahasiswa dari kalangan tidak mampu , artinya sekitar 94% berasal dari keluarga menengah atas.

.